Dilihat
dari segi bahasanya, kata “im-ro-ah” bersaudara atau satu rumpun dengan kata
“mir-aah”. Im-ro-ah bermakna wanita sedang mir-aah bermakna cermin. Lantas apa
hubungannya wanita dengan cermin? ternyata hubungan keduanya saling berdekatan.
Dalam kesusastraan Arab dikatakan, bahwa setiap kata yang berasal dari rumpun
yang sama maka kedua kata itu bermakna satu. Karena itu kedua kata diatas
memberikan satu arti, bahwa wanita
adalah cermin suatu keadaan (generasi).
Disebut
cermin karena sifatnya mampu merefleksikan kepribadian. Mampu memberikan
gambaran suatu kondisi/keadaan. Sifat ini dijelaskan dalam sabda Nabi sebagai
berikut :
“wanita
itu adalah tiang Negara. Bila baik wanitanya maka baiklah Negara dan bila buruk
wanitanya maka buruk pula Negara”.
Sehingga
dalam konteks ini, baik dan buruknya suatu Negara ditentukan oleh generasi
bagaimana yang dihasilkan. Bila wanita di Negara itu baik maka generasi yang
dihasilkan itu pun akan baik dan otomatis Negara itupun akan menjadi baik.
Sebaliknya bila wanita di Negara itu buruk/jahat maka generasi yang akan
dihasilkannya pun akan buruk maka otomatis keadaan Negara itupun menjadi buruk,
jadi baik dan buruknya suatu generasi tergantung kepada wanitanya. Inilah
hakikat “cermin” yang dimaksudkan itu.
Standar Penilaian.
Baik
buruknya suatu penilaian haruslah kembali kepada suatu standar. Standar itu
adalah wahyu yang merupakan produk dari suatu sumber yang serba Maha. Lantas
dari sudut manakah wahyu menilai baik dan buruknya seorang wanita ? untuk
menjawab pertanyaan itu perlu kiranya kita memahami hakekat “wanita” itu
sendiri.
Tinjauan lughoh.
Ditinjau
dari sumber aslinya dalam bahasa Arab “wanita” ditandai atau dicirikan dengan
huruf taa dibelakang kata. Jika ia seorang diri maka taa’ yang di pakai adalah
taa marbuthoh yaitu taa’ yang tertutup.ini memberi arti bahwa wanita yang baik
itu adalah wanita yang selalu menjaga diri dan kehormatannya, senantiasa
menghijab mata dan hatinya, membatasi langkah kakinya serta menutup anggota
tubuhnya dengan jilbab islami. Qur’an yang menjelaskan figur wanita yang baik
seperti dilukiskan dalam ayat berikut :
“dan
ceritakanlah (kisah) maryam di dalam al-Qur’an, yaitu ketika ia menjauhkan diri
dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur, maka ia mengadakan tabir
(yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya, maka
ia menjelma dihadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna. (QS.maryam 16-1
7)
Siti
Maryam yang disebut dalam ayat diatas adalah figur wanita Islam yang telah
menjaga diri dan kehormatannya dari kedatangan tamu laki-laki yang tak
dikenalnya. Wanita yang baik tidak akan
memberi peluang sedikitpun bagi laki-laki asing untuk menyentuh dirinya apalagi
kehormatannya. Siti Maryam telah menghijab lebih dulu mata dan hatinya maka
bersamaan dengan itu lahirlah sikapnya menutupkan tabir (yang melindunginya)
dari laki-laki itu. Sambil menutupkan tabir pembatas itu terlontarlah ucapan
isti`adzah dari mulut yang tak henti hentinya berdzikir. Maka berkatalah Maryam
ketika itu:
“sesungguhnya aku berlindung daripadamu
kepada Robb Yang Maha Pemurah, jika kamu
seorang yang bertaqwa”. (Q.S. Maryam: 17)
Demikianlah
gambaran wanita Islam yang telah menjaga kehormatannya dan kesuciannya.
Selanjutnya bila wanita yang seorang tadi sudah tertutup rapi dan menjaga diri
kemudian bertemu dengan wanita lain yang keadaannya sama lalu menjadi banyaklah
bilangannya (jama`) maka tandanya berubah menjadi taa`maftuhah atau taa` yang terbuka. Ini memberi arti
bahwa pada keadaan ini perjuangan wanita Islam sudah siap untuk maju ke medan
namun tetap langkah dan perbuatannya berada di dalam pengwasan walinya.
Kemudian
bila wanita itu menikah dan sudah menjadi istri maka Al Qur`an menyebutnya
dengan “zaujun” yang berarti ”pasangan”. Kedudukannya sama dengan suami.
Keduanya harus ada dalam keserasian dan keharmonisan. Yang satu melindungi dan
yang lain mengasihi. Keduanya berada didalam ikatan ‘mawaddah-warohmah’ yang
membimbing hidup keluarga itu kearah tanggung jawab yang sama beratnya dan sama
murninya. Keduanya menunaikan tugas menurut fitrah yang sudah ditentukan oleh
Allah SWT.
“dan
orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan,sebagian mereka
(adalah)menjadi penolong bagi sebagian yang lain.mereka menyuruh(mengerjakan)
yang ma’ruf,mencegah dari yang mungkar, mendirikan sholat, menunaikan zakat,
dan mereka taat kepada Alloh dan rasul-Nya.mereka itu akan diberi rahmat oleh
Alloh,sesungguhnya Alloh maha perkasa lagi maha bijaksana.”(QS.at-taubah :71)
Jika
wanita itu sudah mendapatkan anak, maka wanita itupun berubah lagi sebutannya
menjadi “ummun” atau ibu. Kata Ummun itu bertemu dengan kata”Imaamun”dalam satu
rumpun. Imam berari pemimpin. Jadi seorang ibu adalah pemimpin didalam rumahnya
bila suaminya tidak ada dan bertugas mengatur urusan rumah tangga dan mendidik
anak-anaknya. Fungsinya sama dengan Imam di masji-masjid yang memimpin
masyarakat setempat. Maka sang ibu memimpin masyarakat rumah tangga untuk
mendirikan masyarakat yang lebih luas.
Sehingga kata”ummun” juga bertemu dengan
kata “ummat”yang berarti ibu sebagai pembentuk ummat dan ibu juga yang
melahirkan/mengadakan ummat. Dari peran yang dimainkannya ini jelas bahwa ibu
adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam pembentukan watak generasi
yang akan datang. Suatu generasi akan menjadi baik bila keluar dari kandungan
seorang wanita yang baik; wanita yang selalu menjaga kesucian dan kehormatannya
dengan selalu berpegang teguh kepada prinsip-prinsip Islam. Prinsip itulah yang
nantinya yang akan mengangkat derajat
seorang wanita kepada kedudukan mulia seperti yang dijelaskan dalam
hadist :“syurga adalah dibawah telapak kaki kaum ibu”.
Demikianlah
Dien ini telah memutuskan untuk menjadikan Syurga sebagai tujuan semua ummat
manusia,”dibawah telapak kaki ibu!” suatu penghargaan dan kemuliaan yang tiada
taranya. Maka akan berdosalah sang ibu bila mengabaikan pendidikan anaknya
hingga ia tersesat dari jalan-Nya yang lurus.
Kata
ummun juga bertemu juga dengan kata amaama yang artinya “didepan”ini berarti
bahwa ibu adalah manusia yang berada di garis depan dalam semua keadaan.
Seorang ibu akan lebih dahulu merasakan sakit ketika mengandung dan melahirkan.
Dia pula yang lebih dahulu cemas ketika
sang anak dalam marabahaya. Pendeknya sang ibu akan bersedia mengorbankan apa saja demi
kepentingan anaknya.
Karena
besarnya jasa ibu, Islam meletakkan wanita pada tempat yang mulia. Rosululloh
s.a.w bersabda “berlaku lemah lembutlah
terhadap meraka(wanita)”
Dalam
hadits yang lain Rosululloh s.a.w
bersabda :
“tidak
memuliakan wanita kecuali laki-laki yang mulia .dan tidak merendahkan wanita
kecuali laki-laki yang hina”.
(by.Ita K)
Posting Komentar
بسم الله الرحمن الرحيم