Lahirnya KPK PSII - Ternyata
Abikusno, Aruji Kartawinata, Wondo Amiseno, dan kawan-kawannya belum
siap mental untuk menghadapi resiko pada pelaksanaan sikap hijrah itu.
Semangat hijrahnya yang menggebu-gebu pada beberapa tahun belakangan
ini, dengan melaksanakan tindakan tegas kepada setiap penentangnya
seperti skorsing yang dijatuhkan kepada H. Agus Salim, Moh. Roem, dan
kawan-kawannya dari barisan Penyadar, ternyata kandas, setelah melihat
kenyataan betapa sulit dan rumitnya perjalanan ini.
Tekanan
dan kecurigaan dari pemerintah Belanda terhadap partai- partai yang
berhaluan non-kooperasi yang semakin hari semakin ketat, dan menurunnya
kuantitas anggota- anggota PSII yang merosot sangat drastis, akibat
pengaruh provikasi dari orang- orang Barisan Penyadar, adalah faktor-
faktor yang mendorong Abi Kusno cs berputar haluan, meninggalkan politik
hijrah beralih kepada garis parlementer. Pada tahun 1938, Abi Kusno
mepelopori terbentuknya GAPI (Gabungan Politik Indonesia), dia berusaha
merangkul bekas- bekas musuhnya yang menentang hijrah, di antaranya Mr.
Sukiman yang menjadi ketua PII (Partai Islam Indonesia) dan H. Agus
Salim dengan Barisan Penyadarnya, untuk masuk bergabung ke dalam GAPI,
sebagai suatu federasi partai politik Indonesia, yang tujuannya untuk
membentuk parlemen yang benar- benar representatif. Tindakan Abi Kusno
ini sama sekali di luar pengetahuan SM. Kartosuwiryo, yang saat ini
menjabat sebagai wakilnya (wakil presiden PSII). Setelah mengetahui akan
hal itu, Kartosuwiryo beruasaha menegur Abi Kusno agar menarik kembali
langkahnya yang sudah menyimpang dari garis hijrah.
Namun
Abi Kusno tidak menanggapinya, bahkan ia membujuk Kartosuwiryo agar mau
merubah haluan. Dengan alasan, bahwa hijrah itu adalah salah satu
taktik perjuangan saja, bukan prinsip, sehingga bisa berubah menurut
tuntutan situasi dan kondisi. Maka untuk situasi semacam sekarang ini,
demi menyelamatkan dan mempertahankan partai dari kesulitan dan
kebangkrutan, perlu adanya perubahan taktik/siasat, dari hijrah ke
parlementer, dari non- kooperatif ke kooperatif. Kartosuwiryo menolak
mentah-mentah ajakan ini, karena menurut pendirirannya, bahwa hijrah
bukanlah sekedar taktik, melainkan suatu prinsip yang tidak bisa
dirubah- rubah dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun juga.
Perjuangan Islam tanpa hijrah adalah batal, sebab tanpa hijrah akan
terjadi percampuran antara hak dan batil dalam satu wadah perjuangan,
yang mengakibatkan gugurnya hak(kenbenaran tersebut).
Karena
itu hijrah harus dipertahankan, apapun resiko yang harus dihadapi,
menyimpang dari hijrah sama halnya dengan menyimpang dari Islam. Begitu
pendirian Kartosuwiryo dalam mempertahankan prinsip perjuangannya, yaitu
sikap hijrah, meskipun dia harus menghadapi mayoritas pengurus elite
PSII yang berakibat ancaman pemecatan terhadap dirinya dari PSII.
Padahal, dalam satu atau dua tahun yang telah lalu, kedua pihak tampak
begitu akrab dan mesra, sam- sama berada dalam satu kubu memperthankan
politik hijrah. Pada saat Kartosuwiryo mendapat kehormatan dari kongres
partai tahun 1936 untuk menguraikan tenteang politik hijrah secara
terperinci dalam brosurnya yang terdiri dari dua jilid yang berjudul
”SikapHijarah PSII” pihak Abi Kusno dan kawan- kawannya memberikan
dukungan penuh atas usah ini. Bahkan dalam kata pengantar yang
ditandatangani Abi Kusno sebagai presiden dan Aruji Kartawinata sebagai
sekretaris PSII, pada jilid kedua dia membuat pernyataan bahwa,
”pandangan- pandangan, pendapat- pendapat, dan gagasan- gagasan tentang
penafsiran sikap hijrah PSII yang diuraikan dalam brosur ini telah
dibicarakan panjang lebar dengan presiden terpilih Dewan Pimpinan Partai
dan Komite Eksekutif Partai sebelum dan sesudah(brosur ini) ditulis
pengarang”.
Namun
pada saat ini, tegasnya pada tahun 1938, mereka terlibat dalam
pertengkaran dan perselisihan pendapat yang cukup sengit, tentang perlu
dirubahnya atau tidak politik hijrah ini, mengingat tekanan pemerintah
yang semakin ketat. Untuk mengatasi kemelut ini, Abi Kusno telah
menggunakan wewenangnya selaku presiden partai, dengan tindakan
mengeluarkan Kartosuwiryo dari PSII, karena telah dianggap membangkang
terhadap perintah- perintah pucuk pimpinan untuk merubah haluan dan
menarik kembali serta menghentikan penyebaran brosur tersebut, yang
mengandung fikiran- fikiran yang bersifat anakronisme.
Keputusan
pengeluaran Kartosuwiryo dan beberapa pendukungnya termasuk Kiayi
Jusuf Taojiri dan Kamran Hidayatullah, yang saat itu jadi pemimpin
bagian pemuda PSII, diambil Komite Eksekutif Partai pada 30 Januari
1939. Kemudian disetujui kongres partai pada bulan Januari 1940.
tetapi, mereka yang dicabut keanggotaannya menolak keputusan tersebut.
Kartosuwiryo berpendiriran bahwa PSII bukanlah lembaga milik pribadi Abi
Kusno dan kelompoknya, tetapi lembaga milik Allah, sebagai wadah
perjuangan dalam mendzahirkan mulkiyah (struktur kerajaan Allah) di muka
bumi ini. Karena itu lembaga ini harus diselamatkan dari penghianatan
oknum pimpinannya yang telah menyimpang dari rel sabilillah, garis yang
telah ditentukan Allah SWT. Maka atas prakarsa Kartosuwiryo dibentuklah
komite tantangan, Komite Pertahanan Kebenaran PSII (KPK PSII). Karena
dimaksudkan untuk bergerak di dalam PSII, komite ini mengabaikan
resolusi pemecatan. Ketika ini ternyata tidak mungkin dilakukan maka
pada rapat umum komite di Malangbong pada tanggal 24 Maret 1940
diputuskan untuk membentuk parati yang bebas, sebagai upaya penyelamatan
politik hijrah, yang merupakan amanah Allah, amanah Rasulullah dan
amanah ummat yang telah diputuskan dalam kongres- kongres partai pada
tahun- tahun yang silam.
Paratai
yang baru ini, yang juga biasa disebut PSII kedua, dimana Kartosuwiryo
diangkat sebagai ketuanya, diharapkan bisa berkembang menjadi PSII yang
sebenarnya untuk mempertahankan dan merealisasikan nilai- nilai dan
tujuan Islami yang menjadi cir khas yang telah dipancangkan pendirinya,
HOS. Cokroaminoto terutama dimaksudkan untuk merealisasikan politik
hijrah lebih konkrit lagi, sebagaimana yang telah diputuskan kongres
partai di Surabaya pada tahun 1937. oleh karena PSII Abi Kusno
Cokrosuyoso sudah tidak bisa diharapkan untuk mengemban tugas suci ini,
sebab mereka terdiri dari penghianat- penghianat yang telah menghianati
perjuangan Islam yang sesungguhnya, dan menodai nilai- nilai Islam yang
telah disepakati sebelumnya. Dengan demikian mereka tidak lagi berhak
memakai nama PSII, sebab telah bergeser dari rel Islam. Hal ini nampak
lebih jelas tatkala Abi Kusno memidahkan corak perjuangannya dari Islam
ke corak nasional seperti terlihat dalam GAPI, sudah tidak ada identitas
Islamnya lagi.
Upaya
SM. Kartosuwiryo ini rupanya mendapat dukungan yang cukup besar dari
masyarakat yang masih konsekuen dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari
perkembangan yang cukup pesat, dari dua cabang saja pada saat
didirikannya KPK PSII telah meningkat menjadi 21 cabang pada bulan Maret
tahu 1940. bahkan boleh dikatakan dimana cabang PSII Abi Kusno, disitu
akan berdiri pula cabang PSII kedua yang tetap konsekuen dengan politik
hijrah.
+ komentar + 3 komentar
Cik komentarna urang tes heula hhe...
siip.........mudah2an banyak yg membaca dan di bukakan mata hati dan pikirannya..
dan tentunya tau ke arah mana harus melangkah..jgn sampai penghianat2 yg menjadi tuntunan...
TIDAK SEMUA PEMIMPIN SEKARANG YANG MEMIKIR KAN NASIP NEGARA INI MSH BANYAK YANG MEMENTINGKAN GOLONGAN AJA....
Posting Komentar
بسم الله الرحمن الرحيم