Ada pernyataan yang patut
dicermati dari mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, yang diekspose
pers, Rabu (3/4). Dia menyebutkan, semua partai politik (parpol) di Indonesia
bermasalah. Maksudnya, semua parpol punya masalah korupsi alias ada
pengurus atau kader parpolnya yang
menjadi tersangka kasus korupsi. Pertanyaanya kemudian, adakah parpol yang
tidak bermasalah?
Jawaban ini jelas menarik
diperbincangkan, dan realitas itulah yang tertangkap insan pers di tengah
masyarakat. Pernyataan tersebut tentu menjadi suatu “kesempurnaan” dalih
penganut mazhab golput alias “golongan putih”. Mereka menyebut parpol –begitu klaim
eksistensinya—golputlah yang sebenanya menjadi pemenang dalam setiap pilkada di
Indonesia.
Dalam pesta demokrasi di Jabar umpamanya,
golput menyatakan keluar sebagai pemenangnya. Pasalnya, jumlah mereka ada
sekitar 11 juta orang, sedangkan perolehan suara pasangan Aher-Dedy –yang di
tuduh kubu pasangan Rieke-Teten melakukan kecurangan—hanya setengahnya dari jumlah
tersebut. Beberapa pengamat pun mempertanyakan representasi kemenangan
Aher-Dedy itu, mengingat warga Jabar ada sekitar 49,1 juta orang. Lalu siapakah
warga “parpol golput”?
Mereka itu antara lain generasi
muda yang melek politik dan muak terhadap perilaku para politisi dan kader
parpol formal. Mereka kecewa kepada para
wakil rakyat, yang hobinya bener-benar mewakili rakyat dalam hal hidup mewah,
mencuri uang rakyat, pelesiran dengan dalih studi banding, berbuat maksiat,
serta tidak adil alias mengutamakan golongan dan parpolnya.
Selain itu, ada pula di antara
mereka adalah keluarga besar politisi Muslim yang dulu sempat mengalami
kejayaan di masa Partai Masyumi. Ya, mereka itu keluarga besar Syarikat Islam
(SI) Indonesia, yang di masa pra reformasi namanya Partai Syarikat Islam
Indonesia (PSII) 1905. Warga SI Indonesia ini bebeda dengan SI lain yang kini
bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan atau parpol lain.
Mereka tetap istiqomah memegang teguh sikap politiknya sebagaimana dimasa PSII
1905 di pimpin oleh almarhum HM Ch Ibrahim dan H Bustamam, SH. Realitas itu
penulis ketahui, baru-baru ini.
Ceritanya, setelah 28 tahun
hijrah ke Bandung, penulis di undang mereka dalam acara Diseminasi Generasi
Emas Syarikat Islam (Gemasi) untuk bangsa yang di adakan Majelis Pendidikan SI
Indonesia Jabar, di Gedung Pusdiklat, Cikeruh Sayang, Kab. Sumedang, Minggu
(12/1). Guru ngaji penulis yang mengajarkan berpolitik “sebersih-bersih
tauhid-Nya”, HM Mufti kini di amanahkan sebagai Presiden PP SI Indonesia. Dia
tetap menyatakan tak tergoda bujukan rayu para politisi yang “cinta dunia” dan
gemar berbuat musyrik atau mengotori tauhid-Nya.
Ya, politik SI Indonesia
“sebersih-bersih tauhid-Nya”, tentu rada aneh di tengah maraknya perilaku
politik “menghalalkan segala cara” di masa kini. Realitas ini bermakna pula,
pemenang pesta demokrasi hakikatnya adalah “partai ateis”. Pasalnya, saat
korupsi, mereka itu sengaja berperilaku meniadakan Tuhannya alias ateis. Kalau
begitu, yang terjadi ialah peratrugan antara “partai golput” versus “partai
ateis” atau “partai konspirasi setan”? Achmad Setiyaji/”PR”)***
di kutip dari media harian PR rublik kolom opini, Jum'at (5/4) 2013.
di kutip dari media harian PR rublik kolom opini, Jum'at (5/4) 2013.
Posting Komentar
بسم الله الرحمن الرحيم