Pada
awal abad ke-20/ di tahun 1900-an, telah timbul gejala kebangkitan
nasional dalam berbagai coraknya. Sarekat Dagang Islam (SDI), yang
dirikan H. Samanhoedi dan beberapa karibnya pada 16 Oktober 1905
mengusung semangat yang melahirkan kebangkitan ekonomi kerakyatan
dengan prinsip-prinsip dagang Islam dan memperbaiki pendapat yang keliru
dalam pemahaman Dinul Islam serta hidup sesuai dengan syariat
Islam.
Dalam perkembangannya lebih lanjut, SDI berganti nama menjadi Sarekat Islam (SI), dengan Akte Notaris pada tanggal 10 September 1912 berkedudukan di kota Solo, oleh HOS Tjokroaminoto dengan mengusung asas Islam sebagai dasar perjuangan, kemerdekaan sejati dan pemerintahan sendiri serta Pan-Islamisme.
Dalam perkembangannya, sudah mulai nampak betul-betul sifat, maksud dan tujuan Syarikat Islam ialah ketika ditetapkannya Program-Asas (Beginsel-program) dan Program-Pekerjaannya (Program van Actie) di dalam Kongresnya pada tahun 1917 di Batavia (Djakarta) dan berturut-turut mengalami penyempurnaan/perubahan pada tahun 1920 dan 1930 di Mataram (Yogyakarta). Maksud pergerakan S.I adalah “menjalankan Islam dengan seluas-luasnya dan sepenuh-penuhnya, supaya kita mendapat suatu Dunia Islam yang sejati menurut kehidupan Muslim yang sesungguh-sungguhnya”.
Melalui pergerakan SI–lah, perintisan bangunan ideologi bangsa Indonesia untuk bernegara disemaikan bibitnya dengan berbagai dinamikanya sepanjang lebih dari 107 tahun (1905-2012). Bermunculannya partai-partai di negeri ini dengan mengusung berbagai ideologi bagi bangsa Indonesia semuanya berinduk pada SI.
Mula-mula ideologi komunisme tumbuh subur dalam tubuh SI bagaikan duri dalam daging hingga dikeluarkan secara organisatoris pada Kongres Nasional VII SI pada Oktober 1921 di Surabaya. Mereka akhirnya membentuk PKHT dan menjadi PKI (1924). Selanjutnya, pada tahun 1926 Bung Karno (Soekarno) dikeluarkan dari PSII, karena berideologi Marhaenisme dan lahirlah PNI.
Dinamika ideologi dan tafsir gerakan di dalam tubuh SI pun terus bergulir. Dalam perkembangannya, SI pula yang melahirkan paradigma politik Islam ‘Sikap Hijrah’ (KPK –PSII-nya S.M. Kartosuwiryo) dan ‘Parlementer’ (PSII-nya Soekiman dan Abikoesno).Demikian halnya, dengan upaya membangun Islam sebagai ideologi dalam tatanan kenegaraan adalah sumbangsih pergerakan PSII dan para tokohnya.
Dalam perkembangan berikutnya, PSII menghadapi titik keudzurannya, namun tidak berarti membubarkan diri sebagaimana bunyi Anggaran Dasar bahwa: “Sekalian anggota Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) haruslah berkeyakinan dan beri’tiqad, bahwa Partai itu tidak dapat bubar atau dibubarkan. Adapun kalau sekiranya ada udzur baginya, hendaklah dikembalikan kepada firman Allah SWT dalam Al Quran surat At Taghabun ayat 16: “Fattaqullaha mastatha’tum” (Takutlah kamu sekalian kepada Allah dengan sekuat kuatmu).
Dalam masa satu dekade (10 tahun) pasca Kemerdekaan Proklamasi 17 Agustus 1945, PSII mengalami dan menghadapi situasi yang teramat krusial, penuh ujian dan fitnah, serta tarik menarik kepentingan ideologi dan politik bernegara. Sedangkan, selama era Orde Lama, PSII masih terus melakukan kiprahnya di pentas politik nasional. Terlebih, pada era Orde Baru pasca Majelis Tahkim 1972 (Majalaya,Kab. Bandung), para aktivis dan pimpinan PSII dengan segala daya upayanya tetap memelihara keutuhan kejamaahan dan ideologi Islam. Sampai pada momentum era reformasi 1998, PSII kembali mencoba bangkit melalui jalur berpolitik sebagai peserta Pemilu 1999 ( PSII 1905)
Namun, rupanya zaman sudah berubah, kehadiran PSII sebagaimana kejayaannya di masa-masa lalu itu belum dapat digapai lagi. Maka, sejak 2003, PSII melakukan ijtihadnya melalui Majelis Tahkim Luar Biasa mengubah strategi dan pendekatannya menjadi Syarikat Islam Indonesia (SI Indonesia), organisasi kemasyarakatan (ormas) independen. Suatu kondisi hampir serupa pada saat pertama kalinya Sarikat Dagang Islam (SDI) didirikan sebagai organisasi kemasyarakatan.
Posting Komentar
بسم الله الرحمن الرحيم